PT LASINDO TAMBANG BIJI BESI SECARA ILEGAL

BR - PT. Lasindo Santosa dinilai telah melakukan penambangan biji besi secara ilegal di Desa Nggolonio, Kecamatan Aesesa, Kabupaten Nagekeo. Pasalnya, selain aktivitasnya tidak diketahui DPRD Kabupaten Ngada, aksi penambangan itu juga tanpa seijin dan persetujuan pemilik tanah yang menjadi lahan tambang.
“Kami selaku lembaga legislatif tidak pernah mendapat laporan dari Pemda Ngada bahwa di Desa Nggolonio ada investor yang sedang melakukan eksploitasi biji besi. Kami justru baru tahu ketika ada surat pengaduan dari tokoh masyarakat Towak dan Toring yang mengaku melakukan protes karena tanah mereka telah dijadikan lahan tambang biji besi,” papar Ketua DPRD Ngada, Drs. Thomas Dola Radho.
Dola Radho juga mengaku tak tahu nama perusahaan yang melakukan penambangan. “Saya kurang tahu apa nama perusahaan itu. Tapi waktu itu saya mendukung sikap warga agar pihak Pemkab dan Investor hentikan dulu aktivitas penambangan. Bereskan dulu masalah tanah,” ucapnya.
Ketidaktahuan DPRD Ngada juga disampaikan Wakil Ketua DPRD Ngada, Drs. Yoseph Sola Dopo. “Pemerintah belum melaporkan secara resmi bahwa di Nggolonio ada penambangan biji besi. Seharusnya hasil penelitian biji besi itu dipresentasikan dulu ke dewan sebelum eksekusi lapangan. Karena ini menyangkut harakat orang banyak,” tegas Sola Dopo.
Anehnya diam-diam, Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Ngada, Drs. Ignas Wawo telah menerima uang jaminan kesungguhan dari PT Lisindo sebesar Rp 500 juta dan mempersilakan PT Lasindo untuk mulai beroperasi, memporakporandakan isi gunung guna mencari kandungan biji besi.
“Uang itu sudah saya serahkan dan sekarang berada di rekening Bupati Ngada,” ujar Wawo.
Ditanya kenapa keberadaan PT Lasindo tidak dilaporkan ke DPRD Ngada dan mensosialisasikan rencana penambangan kepada masyarakat pemilik lahan? Dengan lantang Wawo menjawab,”Kita ini baru belajar. Kita masih baru dengan urusan pertambangan. Jadi, kita jalani saja. Soal ribut-ribut itu baru kita urus dari belakang”.
Alhasil beberapa waktu lalu suku adat Towak dan Toring sebagai pemilik lahan tambang melakukan protes ke DPRD dan Bupati Ngada. Mereka mendesak pemerintah dan PT Lisindo untuk segera merealisir konpensasi kerugian yang diderita oleh pemilik tanah yang lahannya telah digusur oleh PT Lasindo. Pada kesempatan yang sama, warga Towak dan Toring juga menyatakan menarik kembali pernyataan penyerahan tanah kepada PT Lasindo, karena kesepakatan yang tercantum dalam surat penyerahan tanah tersebut tidak dilaksanakan sebagamana mestinya oleh PT Lasindo maupun Pemkab Ngada.
“Kita tetap akan cari solusi untuk selesaikan masalah ini. Apalagi ada tidak kandungan biji besi dilokasi itu belum diketahui secara persis,” tandasnya.
Anehnya disaat yang sama, Wawo mengatakan, cadangan biji besi yang sudah terukur yang terdapat di lokasi seluas 348 ha itu sebanyak 1,7 juta ton.
“Soal ganti rugi tanah, PT Lasindo telah menyiapkan dana sebesar Rp 150 juta, yakni Rp 75 juta untuk suku Towak dan Rp 75 juta untuk suku Toring,” ujar Wawo.
Namun saat ditemui terpisah, kepada Mingguan Berita Rakyat, Bupati Ngada, Drs. Piet Nuwa Wea mengaku ganti rugi lahan yang telah disediakan PT Lasindo sebesar Rp 850 juta.
“Untuk ganti rugi sudah disediakan Rp 850 juta. PT Lisindo ini sudah memenuhi syarat, makanya kami memberiakan ijin dengan penyerahan jaminam Rp 500 juta dan itu ada di rekening bupati dan kita tidak gunakan, termasuk bunganya. Setelah dia (PT Lasindo-Red) selesai kerja, dia bisa ambil kembali itu uang,” papar Pit Nuwa.
Menurut Pit Nuwa, soal ganti rugi, ada masyarakat yang ribut soal itu. Awalnya pemerinatah hanya tahu bahwa yang punya hak atas tanah itu adalah masyarakat suku Nggolonio. Tapi belakangan masyarakat adat suku Towak dan Toring juga mengaku punya hak atas tanah yang sama.
“Pertama hanya orang Nggolonio, sekarang ada yang menyebut orang Towak juga berhak, orang Toring juga berhak. Tanah sudah ada harga, jadinya begitu. Peonya dimana? Okelah kita akan mediasi , tapi tambang inikan belum tentu ada barang deo (biji besi-Red) itu di bawah (tanah) sana. Konpensasi atas tanah sudah disepakati Rp 850 juta. Dan itu akan dibayar. Sekarang ini mereka (PT Lasindo-Red) masih pakai itu uang untuk beli alat bor untuk cari tahu kandungan biji besi di lokasi. Karena ujicoba yang pertama itu, kandungan biji besi hanya ada dipermukaan. Ini yang mesti dipahami juga. Tambang itu seperti judi. Makanya saya selalu bilang, investor ini memang setengah gila. Belum tahu ada atau tidak ada kandungan biji besi, tapi mereka nekad inves modal secara besar-besaran,” tandas Pit Nuwa.
Menanggapi perbedaan keterangan soal ganti rugi yang disampaikan oleh Pit Nuwa dan Ignas Wawo, Sola Dopo mengaku bingung. “Aktivitas dilapangan saja kami tidak tahu, apalagi soal ganti rugi. Kalau memang ada, yang pastinya berapa? Biar masyarakat tidak bingung. Rp 75 juta atau Rp 850 juta,” timpal Sola Dopo.
Pantauan dan informasi yang dihimpun Mingguan Berita Rakyat di lokasi tambang menyebutkan, PT Lasindo telah melakukan penggusuran, termasuk membuka jalan raya menuju lokasi tambang tanpa sepengetahuan pemilik tanah. PT Lasindo hanya mendapat izin dari warga suku Nggolonio yang nota bene bukan pemilik lahan tambang. Sebab, menurut warga sekitar, lahan tambang tersebut sesungguhnya milik warga suku Towak dan Toring, bukan milik suku Ngglonio. Konon suku Nggolonio menghuni di pegunungan Wewomuncuk di sekitar Mbay dan Riung. Karena ingin berbaur dengan masyarakat dataran rendah, suku Nggolonio pun memohon kepada suku Towak dan Toring agar mereka diberi tempat tinggal.
“Tanah gheo bo watu kago sa’o. Tanah yang diberikan kepada orang Nggolonio itu hanya sekitar kampung, tidak lebih. Jadi, tempat yang mereka tempati sekarang itu merupakan hak ulayat suku Towak. Mereka tinggal disitu baru sekitar 30 tahun,” papar Yoseph Nusa, Tokoh Masyarakat Adat Towak.
Sementara itu, Dami Djambo, salah seorang pemilik tanah di lahan tambang mengatakan, seharusnya sebelum melakukan eksplorasi maupun eksploitasi biji besi, pemerintah dan investor mencari tahu dahulu siapa sesungguhnya pemilik lahan tambang itu. Bukannya main seruduk. Itu adalah tindakan ilegal. Jangan eksploitasi biji besi secara ilegal seperti itu.
“Itu bukan orang Nggolonio punya tanah. Itu tanah milik kami. Lebih baik kami mati, kalau peninggalan leluhur kami itu tidak dihargai. Lokasi tambang itu milik suku Toring dan Towak atau yang lebih dikenal orang sini dengan sebutan Kanak Toring-Kanak Towak,” tegasnya.
Pemutarbalikan status kepemilikan tanah di lokasi tambang itu disebut-sebut dilakukan oleh Dus Lalo, salah seorang staf Kantor Perwakilan NTT di Jakarta. Dengan berbagai dalih, Dus Lalo menjelaskan kepada Pemkab Ngada dan PT Lasindo bahwa lahan tambang itu bukan milik suku Toring dan Towak.
“Dus Lalo itu suku Mbuang. Dulu suku Mbuang itu suku perampok. Dulu, kalau nelayan sekitar pulang melaut, suku ini yang biasa rampas. Mereka akan ambil ikan-ikan besar dan tinggalkan ikan-ikan kecil untuk si pemilik ikan. Oleh karena itu, suatu waktu suku Toring mengusir dan membakar kampung mereka. Akhirnya mereka lari tunggang langgang cari selamat sendiri-sendiri, dari mereka ada yang mengungsi ke Mbay, ada yang mengungsi ke Flores bagian Barat. Sejak saat itu, atas kesepakatan bersama, hak-hak suku Mbuang dicabut. Bahkan sebelum Belanda masuk diwilayah ini, suku Toring sudah menguasainya. Sedangkan orang Nggolonio itu turun ke dataran di tempat tinggal mereka sekarang itu baru pada tahun 1975. Tanah yang mereka tempati itu adalah milik orang suku Towak,” papar Dami Jambo.
Dami Djambo sangat menyesal kenapa ketika akan melakukan penambangan biji besi, pemerintah maupun investor tidak langsung berkomunikasi dengannya sebagai pemilik tanah.
“Penyerahan tanah seluas 348 ha pada 2 Desember 2006 itu menurut saya cacat menurut hukum adat kami. Apalagi hal-hal yang menyangkut dengan kesepakatan saat penyerahan itu tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah maupun investor,” ucapnya.
Padahal Pemkab Ngada mengetahui bahwa pada Senin, 3 Maret 2003 lalu, fungsionaris adat Towak, Toring, Cila dan Mude Beza telah bersepakat bahwa batas tanah ulayat suku Towak adalah Utara dengan dataran Marore, Muuwae (Muara-Red), Pimpeng, Paarowet, Nanga Numba dan Makisengkok. Barat dengan tanah adat masyarakat Toring (Pongget-Mekisengkok-watuperak-Tanah Bhete (Mboa Repet)-Bhunga Dhadhik-Nunuklebe) dan tanah masyarakat Adat Cila (Lengkoracok-Waejera-Bhubhelek-Mboaras-Waetaal-Okang-Nunuklebe). Selatan dengan tanah masyarakat adat Munde Beze (Nunukleba-Tanatoro-Hoboboro) dan tanah masyarakat adat Dhawe (Logojara-Nunutuwa-Reoek). Timur dengan Wololaba, Kopo dan Waemeze (Kali Aesesa).
“Tanah yang diserahkan oleh orang Towak untuk orang Nggolonio itu hanya untuk tempat tinggal, bukan semua yang menjadi hak suku Towak,” tegas Djambo.
Hal senada juga akui Ketua Fungsionaris Adat Towak, Yonas Goa Dhali. “Pihak investor dan Pemda telah membodohi kami. Memang benar tanggal 2 Desember 2006 lalu telah diadakan penyerahan tanah untuk penambangan biji besi. Akan tetapi ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh Pemda dan investor. Persyaratannya antara lain bahwa pada 15 Desember 2006 akan diadakan sosialisasi antara Pemda, investor dengan masyarakat fungsionaris adat Towak dan Toring. Tetapi sampai dengan sekarang sosialisasi itu tidak pernah ada. Dan, karena kesepakatan belum ada, namun pihak investor sudah mulai melakukan kegiatan tambang di lokasi, maka kami terpaksa menarik kembali surat pernyataan penyerahan tanah yang pernah kami sepakati dengan pemerinatah dan investor,” tegasnya.
Wakil Ketua DPD Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN) Kabupaten Nagekeo, Ir. Gabriel Mala mengatakan, jika ekplorasi maupun eksploitasi tambang biji besi itu menyisahkan masalah sebaiknya dihentikan saja. Apalagi dana ganti rugi lahan tidak jelas besarannya.
“Yang benar yang mana? Rp 75 juta atau Rp 850 juta. Jangan korbankan rakyat hanya karena kepentingan tambang yang tidak jelas itu,” ujarnya, singkat.
Akibat persoalan kepemilikan tanah tersebut, aktivitas penambangan biji besi dihentikan sementara. Tampak dilokasi berjejer berbagai peralatan tambang milik PT Lasindo.
“Kita nggak tahu kalau soal kepemilikan tanah. Kami ini hanya teknisi saja. sekarang ini kita stop, karena lagi nunggu alat bor,” ucap Teknisi PT Lasindo Santosa bernama Tomo.
Sementara itu Ketua DPW PPRN NTT, DR. Thomas Ola Langoday, SE.M.Si mengatakan, persoalan tambang dimanapun di dunia ini tidak pernah mensejahtrakan tuan tanahnya sendiri.
“Ini yang harus diingat oleh pemerintah dan masyarakat Nagekeo. Bukan saja di Indonesia, bukan saja di Lembata, di seluruh dunia ini, tambang tidak pernah mengsejahtrakan tuan tanah. Yang berkuasa adalah pengusaha sendiri. Dimanakah tuan tanah? Terpingirkan, bahkan ada yang sampai ditransmigrasikan dan diemigrasikan ke negara lain. Sayang betul kita ini. Tambang bukan tidak boleh, tapi yang harus jadi pemilik adalah tuan tanah, dia harus memiliki itu sampai ke anak cucunya. Karena yang mendiami bumi ini adalah tuan tanah, bukan investor,” ujar Langoday saat melantik pengurus PPRN Kabupaten Nagekeo di Aula SVD Danga pada Sabtu, (11/08/07) lalu. (chris parera)

Ha'i Tamuku,,,

Terima Kasih atas kunjungan ANDA. Semoga apa yang ANDA baca DISINI,,,, dapat bermanfaat bagi ANDA. God Bless You,,,!