AYAHKU DITEMBAK, DISERET LALU...

BR - Gerakan G 30 S PKI menyisahkan derita mendalam bagi keluarga Jenderal TNI Anumerta, Achmad Yani. Kisah tragis 1 Oktober 1965 ini diceritakan kembali oleh Amelia Ahmad Yani, anak ketiga dari pasangan Jenderal Achmad Yani dan Yayu Ruliah Sutodiwiryo .
Siang itu, Kamis 30 September 1965, udara cerah Jakarta terasa panas menyengat. Aku dan ketiga adiku menunggu kedatangan bapak pulang dari kantornya di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) yang terletak di Jl. Mendeka Utara, Jakarta. Ketika itu bapak menjabat sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad) di masa kepempinan Preside Soekarno.
Sekitar pukul 14.00, kendaraan Oldsmobile hijau militer bernomor AD-1 dengan disertai regu pengawal memasuki pekarangan rumah kami di jalan Lembang Terusan No. D 48. Sesaat kemudian bapak turun dari mobil. Dia terlihat tampan, gagah dan berwibawa dengan seragam militernya. Aku bangga dengan penampilan bapak yang penuh kharisma.
Usai merima jajar kehormatan dari para pengawal rumah kami, bapak langsung masuk ke dalam rumah. Melihat kami sedang menunggu kedatangannya, dengan penuh kasih sayang bapak menyapa kami. Seperti biasa pula bapak langsung menanyakan keberadaan ibu, ”Ibu Nandi?” (Ibu mana). Kami pun beritahu bahwa Ibu sedang di dapur menyiapkan makan siang.
Sambil menunggu makan siang siap, bapak mengajak kami ngobrol di bar. Siang itu bapak terlihat sangat gembira. Padahal situasi politik di luar rumah bagaikan bara akibat makin kuatnya pengaruh komunis. Toh begitu bapak tidak terpengaruh sedikitpun. Hati kami riang sekali. Karena senangnya, bapak tidak sadar bahwa disamping bapak, di bar itu, ada sebuah botol minyak wangi. Karena tersentuh tangan bapak, botol itu berguling dan isinya tumpah membasahi meja bar. Sekejab wangi parfum merebak menguasai ruangan bar. Bapak terkejut, tapi kemudian kembali larut dalam suka cita obrolan kami. Dengan kedua telapak tangannya bapak lalu meraup minyak wangi itu mengusap-usap ke tangan dan badan kami. Sambil mengusap-usap bapak berkata, “Nek ana seng takon, seko sapa wangine, kandoa seko bapak” yang artinya, “Kalau ada yang tanya darimana kamu dapatkan wangi ini, katakan wanginya dari bapak”. Mendengar itu kami tersenyum gembira. Tak lama kemudian ibu memberi kode kalau makan siangnya sudah siap disantap. Kami pun bergegas makan siang bersama.
Setelah makan siang, beberapa jam kemudian, bapak berangkat main golf ditemani pak Bob Hasan. Sore harinya sekitar pukul 18.00 bapak pulang. Sembari berjalan masuk rumah melalui pintu belakang, bapak berpesan kepada pak Dedeng, sopir bapak, agar alat-alat golf segera dibersikan, karena kata bapak sudah tidak akan dipakai lagi.
Setengah jam kemudian bapak terlihat menuju kamar mandi. Percikan air terdengar jelas dari luar. Oh ternyata bapak mandi. Selesai mandi, bapak mengenakan celana panjang warna abu-abu dipadu kemeja putih. Bapak keliatan segar dan keren. Singkat kata malam pun tiba. Malam itu bapak menerima kunjungan Jenderal Basuki Rahmat dan tamu-tamu lain yang tidak kami ketahui siapa mereka. Entah apa yang mereka bicarakan. Disaat yang sama ibu tampak di dapur menyiapkan makan malam untuk bapak. Sedangkan aku dan saudara-saudaraku ada di ruang belakang. Ada yang belajar, ada pula yang menyetel musik. Sementara pembantu rumah kami, Mbok Milah sibuk menyuapi adikku Edi yang saat itu baru berumur 7 tahun.
Setelah makan malam siap, ibu lalu menenui dan pamit kepada bapak katanya mau ‘nyepi’ di rumah Menpangad, rumah dinas bapak di jalan Taman Suropati 10. Ibu ditemani Tante Tinik, teman akrab ibu sejak kecil, Om Tris adik ibu dan Om Sandi, ajudan rumah tangga kami. Malam itu kami semua tidak ada yang ikut menemani ibu. Karena ibu lebih senang nyepi sendiri, tanpa anak-anak.
Sekitar pulul 22 malam barulah bapak bebas dari tamu. Beberapa saat kemudian setelah makan malam, bapak langsung masuk ke kamar tidurnya. Sementara kami masih duduk-duduk di ruang belakang sambil menunggu kakakku yang tertua, Rulli, pulang dari Bandung. Ia dan teman-temannya sedang mengikuti latihan Resimen Mahajaya di Batujajar.
Ketika ibu pergi nyepi dan bapak masuk kamar, malam itu rumah mendadak sunyi senyap. Apalagi ketika para pengawal dan ajudan bapak pulang ke rumah mereka masing-masing. Sesekali terdengar anjing menyalak dan menggonggong dari kejauhan.
Baru kira-kira pukul 23.00 sampai 24.00 telpon rumah kami terus berdering. Dari kejauhan si penelpon hanya bertanya dimana bapak. Tanpa merasa curiga kami pun beritahu kalau bapak sudah tidur. Malam kian larut. Rasa kantuk mulai menghantui kami. Satu persatu mulai beranjak tidur. Aku pun demikian. Namun sekitar pukul 14.30 subuh (1 Oktober 1965), kami dikejutkan oleh suara tembakan bertubi-tubi. Terdengar pula hentakan sepatu tentara yang berlarian. Hiruk pikuk sekali. Semua terjadi secara mendadak dan cepat. Hinggar bingar suasana benar-benar membingungkan. Mendengar itu aku beranikan diri mengintip melalui cela pintu kamar. Aku melihat banyak tentara dengan baret merah tua. Aku melihat sesosok tubuh diseret tanpa belas kasihan. Kakinya ditarik oleh dua orang tentara. Tubuhnya diseret menyapu lantai. Ya Alah, itu bapak, kataku spontan. Serta merta aku langsung menghambur ke luar kamar sembari menjerit-jerit, “Bapaaaak.....! Bapak........!”. Seketika aku dan saudara-saudaraku menangis pedih melihat bapak diperlakukan dengan keji. Dengan langkah gontai sambil terus menangis, kami mengikuti para tentara yang membunuh bapak sampai ke pintu belakang. Tiba-tiba para tentara itu berbalik dan menghadrik, “Kalau anak-anak tidak masuk, akan ditembak juga semuanya”. Kami ketakutan. Kami gemetaran. Kami semua berlari masuk ke dalam rumah. Sedih, marah, takut, bingung bercampur menjadi satu. Kami tak tahu lagi harus berbuat apa. Beberapa saat kemudian kami mendengar suara kendaraan menderu-deru membawa bapak pergi. Saat itu kami tidak tahu kemana bapak dibawa. Namun segumpal darah hangat tertinggal di ruang makan. Pintu kaca berserakan tertembus peluru. Darah tercecer di sepanjang lantai hingga ke jalan raya, bekas bapak diseret dari dalam rumah. Tujuh butir peluru kosong berhamburan di lantai.
Sejurus tanpa diperintah kami berhamburan masuk ke dalam kamar tidur bapak. Kami berebut mengangkat telpon. Namun sayang, ternyata jaringan telepon sudah disabotase. Segera kami meminta Mbok Milah untuk memanggil Om Bardi, ajudan bapak. Sementara kami duduk dilantai mengelilingi darah bapak sambil berharap bapak tidak meninggal. Disaat itu tiba-tiba munculah komandan penjaga yang dilucuti. Ia bingung. Ia kaget. Apalagi ketika dia melihat darah segar tercecer membasahi lantai. Spontan dia bertanya, “Ini Darah Siapa?”. Serempak kami menjawab, “Ini darah bapak”. Mendengar jawaban kami, sang komandan itu tak lagi berkata-kata. Wajahnya kosong menatap darah bapak. Kami benar-benar dicekam rasa takut, marah dan tidak tahu harus berbuat apa.
Pukul 5 pagi, Om Bardi ajudan bapak datang. Serta merta kami semua lari berhamburan kepadanya. Sambil menunjuk gumpalan dan ceceran darah, kami beritahu kalau bapak telah ditembak dan dibawa pergi oleh tentara-tentara berseragam hijau, pakai baret merah, sepatu lars dan banyak kain-kain kecil warna putih, merah, kuning di pundak mereka. Om Bardi kaget. Dahinya mengkerut. Dia seakan berusaha mencari jawaban, kenapa bapak dibunuh. Sejurus dia mondar-mandir dengan nafas yang tidak menentu. Belum habis dengan Om Bardi, tiba-tiba sebuah jib masuk pekarangan rumah kami, setelah ditengok rupanya jib itu membawa ibu pulang. Begitu masuk rumah ibu kaget lantaran mendapati kami semua sudah bangun. Ibu bertanya, “Ada apa pagi-pagi sudah bangun”. Dengan perasaan galau, kami katakan, “Bu... bapak bu. Bapak ditembak dan dibawa pergi naik truck”. Seketika ibu menjerit-jerit. Ibu histeris. Sambil berlari ke luar rumah ibu meminta, “Cari! Cari bapak! Cari sampai ketemu! Kemana bapak? Cari! Cari!”.
Kami semua tertegun bingung, kacau. Sementara Om Bardi tampak terus mondar-mandir karena bingung tak tahu harus buat apa. Sejurus ibu pingsan dan kami gotong beramai-ramai ke dalam rumah. Ia dibaringkan di kursi biru di ruang makan. Ketika sadar dari pingsannya, ibu mengajak kami untuk berdoa bersama.
Jam 06.00 pagi, Jenderal Umar Wirahadikusuma, Panglima Kodam V Jaya datang dan mendapati ibu terbaring di kamar tidur. Setelah ia pulang para tentara lain berdatangan ke rumah kami. Penjagaan di rumah kami digantikan oleh pasukan dari Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). Kami disarankan untuk sementara waktu meninggalkan rumah. Darah bapak mulai dibersihkan, di pel. Saat itu dadaku terasa sesak. Pagi itu baru kami tahu ternyata yang dibunuh dan diculik bukan hanya bapak sendiri, tapi juga para perwira tinggi yang selalu menyebut diri mereka, “Tangan Kanan bapak”.
Kira-kira pukul 09.00 pagi, karangan bunga dari “Bela Flora” datang dengan ucapan, “Selamat Ulang Tahun 1 Oktober 1965” buat ibuku. Ternyata yang mengirimnya adalah bapak sendiri. Bunga itu membuat kedukaan kami semakin mendalam.
Menjelang tengah hari kami mengemasi beberapa lembar pakaian ke dalam koper. Kami sekeluarga mengungsi ke daerah Pasar Minggu. Tetangga kami, keluarga Jenderal Marjadi memiliki kebun dan rumah kecil disana. Kami tinggal di rumahnya tanpa penerangan listrik. Daerah itu masih berupa hutan. Aku tak ingat lagi berapa puluh orang yang menyertai kami. Sepanjang hari kami hanya duduk-duduk saja, mengobrol dengan para pengawal. Satu-satunya informasi yang bisa kami terima adalah dari siaran Radio Australia. Tapi beritanya pun simpang siur. Semua ajudan bapak datang silih berganti. Kadang Om Bardi, kadang Om Darto. Bila mereka tiba kami selalu bertanya bagaimana keadaan bapak? Apa sudah dirawat dokter? Apa Bung Karno bersama-sama bapak? Tapi lagi-lagi kami mendapat jawaban yang tidak pasti. Untuk menenangkan kami, Om Bardi atau Om Darto selalau bilang, “Adik-adik nggak usah kuatir, bapak ada disana, bersama-sama Bung Karno. Bapak baik-baik saja”.
Namun bagai disambar petir, berita yang menyentakan datang dari Radio Australia bahwa Jenderal Achmad Yani telah diculik dan dibunuh oleh sekelompok tentara yang belum dikenal. Sedangkan kedudukan bapak sebagai Menpangad oleh Bung Karno digantikan oleh Mayor Jenderal Pranoto. Saat itu perasan dan tenaga kami serasa lemas luluh lantak. Tapi kami belum yakin dengan berita radio itu.
3 Oktober 1965, sekitar jam 09.00 malam, ketika kami sedang duduk-duduk dengan para pengawal, ibu tiba-tiba keluar dari kamarnya. Wajahnya sangat sayu. Ibu mengatakan kepada tante Tinik supaya disiapkan kebaya hitam. Ibu pun mengajak kami untuk masuk ke dalam kamarnya. Kami terperanjat. Setiba di kamar kami bertanya kepada ibu, “Kenapa ibu minta kebaya hitam?”. Ibu menjawab, “Bapakmu wis ora ono, entas teko nang ibu. Pesene: jaga anak baik-baik”. (Bapak sudah tidak ada lagi, baru saja bapak datang pada ibu dan pesannya: Jagalah anak baik-baik). Malam itu kami semua menangis. Ibu bilang: sudahlah! Kamu semua berdoa untuk bapak. Supaya bapak tenang di Surga.
Selanjutnya sore Senin, 4 Oktober 1965, Om Bardi dan beberapa pengawal datang lagi. Pakaian mereka penuh lumpur dengan wajah yang sangat letih. Kami langsung menyambut mereka dan bertanya, “Sudah ketemu bapak om?”. Dengan suara perlahan Om Bardi menjawab, “Sudah. Sudah ketemu”. Suaranya lirih hampir tak terdengar. Om Bardi pun langsung menemui ibu di kamar. Ia lama sekali di dalam. Kami menunggu di luar dengan penuh tanda tanya. Rupanya Om Bardi sedang menyampaikan kepada ibu tentang keadaan bapak yang sebenarnya. Tak lama kemudian kami semua dipanggil. Aku melihat Om Bardi menundukan kepala dan menangis. Firasat jelek mulai menghantui kami. Benar saja, tak lama kemudian, ibu berkata kepada kami, “Bapak betul-betul sudah tidak ada. Sekarang hanya ada ibu dan kamu semua. Kita harus mengikhlaskan bapak. Kamu semua harus menerima kenyataan ini”.
Hari penantian, hari-hari yang panjang dan penuh rasa bimbang dan sedih, berakhir sudah bersamaan dengan habisnya semua harapan. Bapak telah tiada, gugur sebagai bunga bangsa dalam suatu tindakan yang sangat keji.
Ibu lalu mengajak kami semua berdoa untuk bapak. Usai berdoa ibu berkata kepada Om Bardi bahwa ibu ingin melihat jasad bapak. Om Bardi mengatakan sebaiknya tidak usah. Tapi ibu tetap saja memaksa. Om Bardi lantas meyakinkan ibu bahwa semua jasad para korban sudah dibawa ke Rumah Sakit Angkatan Darat (RSAD) untuk dibersihkan.
Ibu lalu memutuskan, kami semua pulang ke rumah. Dengan mengendarai jib lengkap dengan pengawal, pukul 05.00 sore, kami pulang ke rumah di Jl. Lembang D 58. Suasana di jalan-jalan yang kami lalui, yang biasanya ramai dengan kendaran dan manusia, kini sepi dan lengang. Sampai di rumah, kami kaget, kami dapati rumah sudah bersih. Pintu dan kaca yang tertembus peluru sudah diganti. Lantai rumah sudah dipel, bahkan tak ada sedikit pun noda darah yang tertinggal. Sepi..., sepi sekali suasana rumah kami.
Saat masuk ke dalam rumah, ibu langsung menuju kamar tidurnya. Sementara aku menuju ruang makan lalu duduk di kursi biru mencoba mengerti apa yang telah terjadi. Saat itu aku sadar, kami semua telah menjadi anak yatim. Orang tua kami tinggal ibu seorang diri. Perasaanku hancur memikirkan bagaimana kami hidup dan menata masa depan tanpa ayah.
Keinginan untuk melihat jasad bapak sudah tak tertahan. Perasaan itu terus menggebu dalam dada, kapankah, jam berapakah kami boleh melihat jasad bapak? Saat yang dinanti-natikan akhirnya datang juga. Jam 09.00 malam, ibu, aku dan saudara-saudaraku naik kendaraan beriring-iringan menuju Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) di JL. Merdeka Utara 2, Jakarta. Di sepanjang jalan sangat lengang, sepi, seram penuh tentara berjaga-jaga. Selain itu banyak orang menangis dengan wajah geram. Tak lama kemudian kami memasuki MBAD yang sudah penuh sesak dengan manusia, bau mayat dan asap dupa mengepul memenuhi ruangan. Tujuh peti jenasah terselubung bendera merah-putih, masing-masing dijaga oleh empat Taruna Akademi Militer Nasional. Aku dan kakak serta adik-adikku dituntun menuju peti jenasah bapak. Di depannya tertulis Letnan Jendral Ahmad Yani. Yah..., inilah bapak, tapi sayang jasad bapak tidak dapat dilihat lagi. Bapak ada di dalam peti ini, entah sudah seperti apa wujudnya. Kami hanya dapat memeluk peti sembari menangis, “Bapak.....Bapak......Bapak......”.
Ruangan penuh dengan asap dupa, tangis dimana-mana, suasana semakin haru, semua menundukan kepala, semua menangis. Aku melihat ibu terpaku. Semangat dan tenaganya seakan sudah terkuras habis. Ibu bahkan tidak sanggup menangis lagi lalu tak sadarkan diri, meskipun dikerumuni ibu-ibu dan dikipasi. Kami semua duduk, lemas dan lunglai. Disana baru akau ketahui ada ibu Soeprapto, ibu Haryono, ibu Parman, ibu Panjaitan, ibu Sutoyo lengkap dengan putra-putrinya. Keluarga Tandean juga ada. Kami semua larut dalam duka. Para pengunjung pun tak kuasa menahan tangis. Bahkan di luar para tentara dan massa pun sendu menangis. Histeris. Karena semua merasa kehilangan.
Pukul 12.00 tengah malam, kami meninggalkan MBAD dengan perasaan hampa. Rumah terasa kosong meskipun tamu-tamu sangat banyak. Besok siang, bapak bersama jenderal-jenderal lainnya akan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata.
Pagi 5 Oktober 1965, dengan pakaian yang gelap-gelap, kami menuju MBAD. Sepanjang jalan aku melihat masyarakat berbaris untuk melihat iring-iringan kami. Tentara berjaga-jaga dengan pakaian tempur dan senjata lengkap. Banyak prajurit menitikan air mata. Wajah mereka muram, marah dan geram. Mereka, aku, ibu dan semuanya kehilangan bapak. Suasana haru, duka dan berkabung menyelimuti MBAD. Sampai-sampai langit pun mendung seakan ikut berduka.
Pukul 10.00 pagi, upacara pemberangkatan jenasah yang dipimpin Jenderal A.H Nasution dimulai. Pak Nas ---sapaan akrab Jenderal A.H Nasution---- karena luka-lukanya harus memakai tongkat dan dipapah beberapa perwira. Peti jenasah berselubung Merah Putih satu per satu dibawa keluar, dinaikan ke atas kendaraan panser dikawal tentara, didampingi perwira-perwira tinggi sahabat bapak dengan wajah merah dan haru. Pemberangkatan dilepaskan dengan salvo penghormatan kepada mereka yang gugur. Sepanjang perjalanan dari MBAD menuju Kalibata, iring-iringan kendaraan berjalan sangat pelan diikuti mendung dan gerimis. Deretan tentara dan massa berjejer sedih di sepanjang jalan. Suasana sangat hening. Berat. Perjalanan dari MBAD ke Kalibata memakan waktu tiga jam.
Sampai di TMP Kalibata, tempat sudah penuh sesak dengan masyarakat. Melalui salvo kehormatan, kami berjalan menuju gerbang Kalibata tempat peristirakatan terakhir ayah dan para jenderal lainnya. Keluarga masing-masing berada disekitar liang lahat. Ibu duduk dibawah pohon kamboja tak sadarkan diri. Adikku Untung juga tak sadarkan diri. Perlahan-lahan peti jenasah diturunkan bersamaan. Riwayat hidup bapak dan para jenderal yang lain dibacakan, disertai doa. Tangis dimana-mana. Aku dan saudara-saudaraku hanya terdiam. Kami hanya menurut ketika disuruh melemparkan tanah, dan bunga-bungan ke dalam kubur. Saat itu aku hanya dapat berdoa untuk bapakku dan pelan kuucap, “Selamat jalan bapak, selamat beristirahat, sampai ketemu lagi di surga”. Akan kuingat selalu hari itu, 1 Oktober 1965. Hari yang dimulai dengan tragedi dan banjir darah di rumahku. Hari yang yang kurasakan sebagai hari terpanjang dalam hidupku, hari yang telah mengubah jalan hidup pribadiku dan bangsaku. (Tulisan ini disarikan oleh Chris Parera dari buku “Sepenggal Cerita Dari Dusun Bawuk”)

Ha'i Tamuku,,,

Terima Kasih atas kunjungan ANDA. Semoga apa yang ANDA baca DISINI,,,, dapat bermanfaat bagi ANDA. God Bless You,,,!