WARGA SESO “RAMPOK” TANAH

BR - Sikap main hakim sendiri kembali ditunjukan puluhan warga Desa Seso. Kali ini mereka tega merampas tanah milik masyarakat Desa Waepana yang nota bene sudah seperti saudara mereka sendiri. Bahkan warga yang disebut-sebut diprofokasi oleh Kepala Desa Seso, Yohanes Mari itu juga merusak tanaman seperti jambu mete, kemiri, kopi, kelapa dan pisang yang terdapat diatas lahan yang mereka rampas.
Wajah sebagian besar masyarakat Desa Waepana di Kecamatan So’a, Kabupaten Ngada terlihat lusuh dan ketakutan. Kehidupan di desa itu nampak tidak normal seperti di desa-desa lain di Indonesia. Warga setempat terus dibayang-bayangi rasa takut dan saling curiga. Mereka takut karena telah beberapa kali warga Desa Seso datang secara bergerombol meneror dan merampas tanah yang telah mereka miliki berpuluh-puluh tahun. Saling curiga terjadi diantara mereka lantaran ada sesama warga Desa Waepana yang ingin meraih untung dari konflik yang ada.
Sudah hampir 100 tahun warga Desa Waepana yang datang dari berbagai penjuru NTT mendiami bumi So’a. Namun sayang mereka tetap dianggap sebagai pendatang ---warga Desa Seso menyebutnya dengan istilah “Ata Gadho Mai”--- yang tidak berhak memiliki tanah atau rumah di So’a. Kenyamanan mereka sering diusik. Bahkan polisi yang ingin bertindak adil pun dicerca dan dihina. Begitulah yang dialami mantan Kapolsek So’a, Jhoni Riberu. Riberu dianggap tidak pantas bertugas di So’a hanya karena Riberu berasal dari Kabupaten Flores Timur. Sikap dan tingkah laku gerombolan Seso ini seakan bentuk perjuangan ingin melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebab, mereka tidak patuh lagi pada hukum, mereka tidak menghormati lagi pada alat negara yang ditugaskan di So’a.
Melihat kondisi ini, Kapolres Ngada pun masih bertindak bijak. Ia tempatkan semua polisi asal So’a di Polsek So’a, seperti Kosmas Nga’i (Kapolsek So’a sekarang), Stefanus Nga’i, Hendrikus Nango dan lain-lain. Pertimbangannya, mungkin jika polisi asal So’a yang bertugas di So’a lebih didengar atau lebih ditaati warganya. Namun sayang prediksi ini melenceng. Sebab, dalam kelompok polisi ini justru ada yang bersikap profokatif dalam tugasnya. Tersiar kabar kalau oknum polisi yang sering ikut mendalangi aksi kekerasan warga Seso adalah Stefanus Nga’i. Bisa benar, bisa juga tidak.
Penghinaan dan kekerasan juga pernah dirasakan mantan Camat So’a, Adolfus Lekomau. Kala itu Lekomau berupaya menyelesaikan sengketa tanah antara Warga Desa Seso dan Waepana. Namun oleh warga Seso, Lekomau dinilai tak pantas menyelesaikan persoalan tanah yang terjadi di So’a. Itu hanya karena Lekomau bukan asli orang So’a. Buntutnya, hingga pensiun, camat kelahiran Kecamatan Boawae tersebut tidak bisa berbuat banyak untuk kenyamanan seluruh masyarakat So’a.
Warga Seso mengklaim, tanah yang diberikan pemerintah kepada masyarakat Waepana adalah hak ulayat mereka. Anehnya, sejumlah tokoh masyarakat Waepana asal Seso, seperti mantan Kepala Desa Waepana, Paulus Bay Gili mengaku kalau tanah yang dimiliki warga Waepana adalah tanah negara. Pengakuannya Bay Gili itu tertuang dalam suratnya bernomor: PEM.145/12/06/1/2006 tanggal 24 januari 2006 tentang laporan ganggauan kamtibmas cq. Perampasan Tanah Tempat Usaha Milik Masyarakat Desa Waepana yang ditujukan kepada Camat So’a. Dalam surat setebal dua halaman itu, Bay Gili menjelaskan, aksi perampasan tanah oleh warga Desa Seso telah membuat masyarakat Desa Waepana resah dan lemah dalam melakukan aktivitas sebagai petani serta ikut andil menghambat roda pembangunan ekonomi Desa Waepana yang mandiri dan bermartabat. Padahal tanah-tanah yang dimiliki masyarakat Desa Waepana telah memiliki bukti-bukti hak sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Selain merampas tanah, warga Seso juga merusak tanaman yang telah menjadi sumber ekonomi keluarga yang ditanam, dirawat dan dipelihara bertahun-tahun oleh masyarakat Desa Waepana.
Warga Seso juga mengklaim lokasi Sekolah Dasar Katholik (SDK) Waepana adalah hak ulayat mereka. Akibatnya, semangat masyarakat Waepana untuk terlibat dan berperan aktif dalam gerakan masyarakat peduli pendidikan menjadi lemah dan luntur.
“Masalah tanah SDK Waepana ini telah mendapat perhatian Badan Pertanahan Negara (BPN) Kabupaten Ngada melalui kegiatan sidang pemeriksaan lokasi lahan SDK Waepana tanggal 29 November 2005 yang pada kesempatan itu hadir juga pihak-pihak yang mengklaim lokasi tersebut sebagai hak milik mereka seperti Damianus Jaga, Mikael Mite Rema, Nani mari dan Thomas Toi. Saat itu BPN menjelaskan, pertama; tanah kompleks SDK Waepana adalah tanah negara. Kedua; pihak SDK Waepana telah memenuhi persyaratan administrasi sesuai petunjuk BPN. Ketiga; kesepakatan-kesepakatan yang pernah dibangun para pendahulu tidak boleh dianulir lagi. Keempat; boleh membangun kesepakatan baru demi menghormati kearifan lokal, tapi berita acaranya harus jelas. Penjelasaan poin empat itu telah kami tindaklanjuti dalam sebuah pertemuan dengan pihak yang mengklaim pada 14 Desember 2005 di Kantor Desa Waepana yang difasilitasi Camat So’a, Silvester Wale, SH. Namun berita acara yang dikonsep camat So’a itu tidak dapat kami terima karena isinya tidak jelas. Karena itulah penyelesaian tanah SDK Waepana hingga kini belum ada,” tulis Bay Gili.
Untuk meyakinkan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Ngada dan warga Desa Seso, maka Bay Gili pun membuat sebuah surat yang intinya menjelaskan bahwa lokasi SDK Waepana adalah tanah negara. Dalam surat Nomor: PEM.145/08/06/II/2005 tanggal 11 Februari 2005, Bay Gili mengurai, lokasi SDK Waepana berbatasan langsung; Utara: dengan tanah Benyamin Meo dan Yuliana Moi. Selatan: dengan tanah milik Mikael Sato, Daniel Dote, Paulinus Sera dan Arnoldus Ado. Barat: dengan jalan raya trans Bajawa-Riung.
“Tanah sekolah itu dikuasai/dimiliki oleh Yayasan Persekolahan Umat Katholik Kabupaten Ngada sejak tahun 1963. Status tanahnya adalah tanah negara,” tulis Bay Gili, tegas.
Toh begitu, sekelompok warga Seso tetap tak mau ambil pusing dengan status tanah yang diurai Bay Gili. Buktinya, hingga kini mereka terus mengganggu, merusak dan merampas tanah milik masyarakat Desa Waepana, seperti yang dilakukan Don Gili, Ana Dede, Agus Bai Folo dan Pit Bai Meo terhadap tanah milik Benyamin Parera. Ironisnya, ketika persoalan ini diadukan ke polisi, pelaku justru bersikap arogan. Agus Bai Folo bahkan menantang Kapolsek So’a, Cosmas Nga’i untuk meneruskan perkaranya dengan Benyamin Parera ke tingkat pengadilan. Padahal tanah yang dikuasai Benyamin Parera sejak tahun 1973 itu telah dibuktikan dengan Sertifikat Tanah Nomor: 218 dengan Nop/SPPT-nya: 53.11.062.002.000.0367.7 dan SIM.416/m/1985-1986.
“Kami sudah mencoba untuk menyelesaikan kasus ini secara kekeluargaan, tapi karena para pelaku perampasan tetap keras kepala, ya... terpaksa kita limpahkan kasus ini ke pengadilan,” ujar Miler, salah seorang Anggota Polsek So’a.
Agus Bai Folo cs tak hanya merusak tanaman dan merampas tanah. Mereka juga menebar isue bahwa mereka akan mengusir semua orang So’a yang dicap sebagai “pendatang” di So’a. Tak urung isue ini membuat masyarakat Desa Waepana hidup dalam ketakutan dan was-was. Sebab kelompok Agus Bai Folo ini dikenal sebagai sosok manusia yang brutal, beringas dan kejam. Mereka tak segan-segan memukul bahkan melukai warga Desa Waepana yang tak rela tanahnya dirampok.
Aksi Agus Bai Folo cs ini bukan baru pertama kali. Seakan hobi yang tak dapat dibendung, kelompok ini selalu berupaya merampok tanah-tanah milik orang lain, terutama tanah milik warga Desa Waepana yang dianggap lemah alias tak mampu melawan agresi mereka. Setelah didapat, hasil rampasan biasanya dijual kepada warga Seso lainnya. Namun uangnya tak jelas dipakai untuk apa.
“Sedikit-sediki mereka cap kami ata gadho mai (orang pendatang). Sedikit-sediki ancam mau usir kami dan mau bakar kami punya rumah. Kami takut tapi kami tidak rela jika hak hidup kami dirampas. Lalu bagaimana jika kami pulang ke daerah asal kami lalu kami mengusir semua orang So’a yang tinggal dan bekerja di daerah kami? Apa mau seperti itu? Janganlah, kita inikan saudara. Kalau ada masalah mari kita duduk sama-sama. Mari kita diskusikan. Ini negara Republik Indonesia. Indonesia bukan berada di dalam negara So’a. Kita orang So’a yang harus tunduk terhadap kebijakan, hukum atau aturan yang berlaku di Indonesia. Jangan main hakim sendiri. Yang berani bukan hanya orang Seso. Yang nekad bukan hanya orang Seso. Orang NTT lain juga banyak yang berani dan nekad. Semut saja kalau diinjak dia balik menggigit koq, apalagi manusia,” ujar salah seorang warga Desa Waepana asal Kabupaten Ende.
Bapak beranak dua yang mewanti-wanti agar namanya tidak dikorankan itu mengatakan, selama ini warga Desa Waepana benar-benar dibuat resah oleh ulah warga Seso. Polisi dan aparat pemerintah sekan tak bisa berbuat apa-apa.
Menurut dia, diantara warga Seso asli itu terdapat kelompok pendatang yang mengaku-ngaku atau mengklaim diri sebagai orang asli Seso. “Contohnya macam Don Gili. Bapaknya Don Gili itukan keturunan orang Maumere. Tapi lucunya dia mengaku sebagai orang asli Seso. Yang lainnya seperti Alo Libu. Alo Libu itukan keturunan dari Naru (Kecamatan Bajawa) sana. Tapi kemana-mana dia mengaku sebagai orang asli Seso. Menyedihkan sekali. Yah... mereka itu termasuk orang yang lupa diri. Karena mereka melupakan asal-usul mereka sendiri. Tuhan akan membalasnya,” tohok pria yang sehari-hari bekerja sebagai petani sawah itu. (chris parera)
Hendikus Rema, SH
“KALAU ITU TANAH SUKU, MANA BUKTINYA?”
Kasus perampasan tanah yang terjadi di Kecamatan So’a, Kabupaten Ngada yang dilakukan warga Desa Seso terhadap tanah milik masyarakat Desa Waepana ternyata mendapat perhatian serius Kepala Seksi Sertifikasi Badan Pertanahan Negara (BPN) Provinsi NTT, Hendrikus Rema, SH. Berikut nukilan wawancaranya dengan Nyongki Mauleti, wartawan Mingguan Berita Rakyat di Kupang pada Kamis (13/12/07) lalu.
Warga Seso mengklaim tanah yang dikuasai masyarakat Waepana adalah tanah suku mereka. Menurut anda?
Kalau warga Desa Seso mengklaim tanah di Waepana itu sebagai tanah suku mereka, maka harus dibuktikan dulu bagaimana struktur masyarakat hukum adatnya, berapa jumlah mereka, siapa kepala sukunya, siapa saja anggotanya dan wilayahnya dari mana sampai dimana. Lalu apakah ada pengakuan dari yang berbatasan bahwa itu adalah tanah suku atau tidak? Itu soalnya. Jadi, tidak asal mengklaim bahwa itu tanah milik nenek moyang saya, itu hanya cerita. Ada aturan agraria Nomor 5 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penyelesaian Masalah Tanah Ulayat. Itu untuk seluruh Indonesia dan itu harus di pedomani. Nah, kalau klaim itu sebagai tanah ulayat maka harus tahu batasnya darimana sampai dimana, kemudian pemimpin masyarakat hukum adatnya itu siapa, lalu upacara adat atau ritual masih berjalan atau tidak. Sekarang ini muncul orang-orang baru yang mengklaim bahwa dia adalah orang yang paling benar, padahal belum tentu. Nah kalau itu tanah suku, mana buktinya?
Dari aksi perampasan itu, terkesan warga Sesa meragukan legalitas sertifikat atau surat-surat tanah yang dimiliki masyarakat Waepana. Tanggapan anda?
Tanah yang sudah bersertifikat harus dihormati. Jangan main rampas-rampas saja. Kalau mau gugat, gugat ke pengadilan, tidak asal klaim mengklaim. Itu pun harus disertai bukti-bukti. Karena pembuatan sertifikat tanah ini tidak asal buat. Semuanya dilakukan secara terbuka, bahkan ada pengumuman segala macam selama 2 bulan. Semua tahu prosesnya. Sertifikat bukan terbit hanya diatas meja atau karang-karang saja. Kalau sekarang ada masyarakat yang mengklaim boleh-boleh saja, tapi harus ada dasar pengklaiman itu sendiri.
Bagaimana caranya agar warga Seso bisa membuktikan bahwa itu adalah tanah suku mereka?
Tergantung mereka punya bukti seperti apa, saya tidak bisa memberi petunjuk bagaimana caranya membuktikannya.
Selain merampas lahan pertanian, warga Seso juga pernah menyegel lokasi SDK Waepana, sebab kata mereka lokasi sekolah itu adalah tanah suku mereka. Benarkah?
Jika tanah itu digunakan untuk kepentingan umum lalu dimentahkan kembali, apa artinya kesepakatan adat dulu. Terus terang, saya tidak sependapat dengan tindakan seperti itu. Karena tindakan itu meruntuhkan kultur masyarakat itu sendiri. Dulu masyarakat So’a terkenal dengan adatnya. Kalau sekarang saling menduduki, itu sudah tidak ada nilai adat lagi. Itu artinya adat di So’a mulai rapuh. Sudah tidak menghormati lagi tata nilai yang ada. Saya hanya menghimbau, tolong pikir baik-baik, kita harus duduk dan omong bersama, jangan langsung menduduki tempat-tempat yang telah dikuasai warga Waepana. Pemerintah Daerah (Pemda) juga harus berperan aktif untuk menghimbau masyarakatnya agar jangan bertindak main hakim sendiri. Mari kita bicara dari hati ke hati, jangan ada tindakan anarkis.
Kenapa warga Seso cenderung bertindak sesuka hati terhadap apa yang dimiliki masyarakat Waepana?
Itu tanda identitas sebagai orang yang beradab sudah mulai hilang. Orang So’a dulu tidak seperti itu. Jika ada masalah, kita biasanya bicarakan dulu. Jika tidak berhasil kita undang Kepala Desa, jika belum berhasil juga kita undang camat.
Kenapa kebiasaan orang So’a itu tiba-tiba berubah?
Itulah masalahnya. Sekarang ini kita sulit mendapatkan figur atau orang tua sebagai panutan.
Beredar kabar bahwa aksi warga Seso itu diprofokasi oleh kadesnya. Komentar anda?
Kepala Desa (Seso) harus betul-betul memahami kondisi yang berkembang, juga riwayat masa silam. Kalau ada masalah, kita omong baik-baik, bukan menduduki. Karena dari dulu tidak pernah terjadi seperti itu. Jadi, harus dibicarakan, karena aksi perampasan seperti itu kurang terpuji. Siapa pun yang merasa dirugikan boleh komplain dan itu kapan saja, tapi harus punya dasar yang kuat. Saya sangat kuatir menyangkut masalah tanah di So’a, sudah menjadi kabur, dalam artian sudah tidak murni lagi. Sekarang kita lihat, banyak terjadi konflik intern di So’a. Jika bicara suku, saat ditanya siapa kepala suku, atau lapisan kedua atau yang lain sudah tidak jelas dan tidak memahami lagi, itulah persoalannya. Memang masyarakat kita juga perlu pembenahan masalah struktur adatnya, kemudian hukum yang berlaku dan pemda harus sabar dalam memberikan penyuluhan dan ini butuh waktu, dan jika sudah terjadi seperti itu, ibarat kita membuka benang kusut. Sebenarnya sederhana saja, satu sisi masyarakat perlu memahami bahwa So’a itu perlu dibangun, perlu dilihat masa depan So’a itu seperti apa. Saya harap masyarakat tidak dipolitisir. Kekuatiran saya orang So’a belum siap mental menerima perubahan-perubahan. Sehingga ketika masuk ke dalam situasi yang begitu kompleks sulit untuk menyelesaikannya. Jika menduduki tanah yang sudah ada sertifikat atas nama orang lain, itu kurang tepat, dari segi hukum tidak tepat, dari segi adat juga tidak tepat. Karena apa? Hargailah orang, mereka sudah mengolah dan menjaga kesuburan tanah tersebut bertahun-tahun dan selama ini tidak pernah ada yang menegur bahwa itu tanah suku. Saya kuatir karena hasutan orang akhirnya ada yang mengklaim itu tanah suku, ini jadi persoalan. Perlu dingat semua orang tidak kebal hukum, saya himbau supaya hati-hati dalam bertindak, jangan sampai ada masyarakat yang disuruh.
Sebagai orang So’a apa yang sudah anda lakukan guna menyelesaikan masalah-masalah tanah yang terjadi di So’a?
Di So’a baru-baru pernah dibuat seminar sehari. Tapi itu saya rasa belum cukup. Seminar saat itu mencakup 9 aspek, salah satunya menyangkut pertanahan, tentang bagaimana tata cara penyelesaian sengketa tanah. Kita sudah bentuk lembaga mediasi disana, dan sudah dikukuhkan oleh camat, dan sudah berjalan. Tata cara penyelesaian masalah tanah diluar pengadilan, sudah disosialisasikan kepada semua kepala desa. Lembaga mediasi yang sudah dikukuhkan terdapat beberapa lurah sebagai tim mediasi. Mereka itu yang akan mengumpulkan fakta-fakta. Kemarin disepakati bahwa mediasi ini tidak hanya berasal dari satu desa saja, melainkan semua desa. Kalau ada masalah tanah di Desa Seso, nanti lembaga ini akan bertidak dan mengumpulkan fakta-fakta kemudian mengkonfrantirkan data itu dan menelaah data itu.
Saat seminar semuanya terbuka, dan semua elemen masyarakat dilibatkan. Bupati sendiri yang membuka seminar itu, dari Kupang, Denpasar, Kalimantan ikut serta. Saya kuatir setelah seminar itu ada yang sengaja memboikot kembali. Karena pada saat seminar tidak ada yang bertanya dan membuat kesepakatan dan rekomendasi kepada pemda. Isinya, bagi seseorang yang telah menguasai tanah itu dengan itikad baik perlu diperhatikan hak-hak keperdataannya. Itu kita kaitkan dengan undang-undang No 5 tentang hak keperdataan seseorang dilindungi. Dia mengolah tanah tahun sekian, dibuktikan dengan tanaman dan surat-surat, ya kalau sudah 20 tahun lebih, mereka sudah menyatu dengan tanah itu, jelas dia lebih berhak memiliki tanah itu, apalagi kalau sudah bersertifikat.
Dari dulu tidak ada yang pernah mengklaim tanah di Waepana sebagai tanah suku, termasuk ketika program persawahan masuk ke So’a tahun 80-an. Saat itu tidak ada yang mengklaim, padahal ada beberapa bidang tanah yang masuk menjadi areal persawahan sesuai dengan program pemerintah pusat. Tanah-tanah itu sudah bersertifikat. Saat itu untuk mengsukseskan programnya, pemerintah melibatkan seluruh kepala desa, tokoh masyarakat, termasuk yang berbatasan juga ikut. Kalau sekarang mereka mau klaim itu tanah suku, tolong hati-hati. Karena tindakan menduduki tanah milik orang lain adalah sikap yang kurang terpuji, adat bicara dengan adat, jangan dengan gerakan-gerakan yang merugikan orang lain, apalagi kita disana rata-rata beragama Khatolik.
Apa sangsi adatnya jika warga So’a melangkahi aturan-aturan adat yang berlaku di So’a?
Kita disana ada yang namanya sumpah adat. Karena itulah saya harap kepala desa (Seso) jangan sampai larut dalam suasana masyarakat yang sebenarnya tidak bisa memberikan bukti yang jelas dan nyata bahwa itu adalah tanah suku. Harus hati-hati, apalagi tanah suku, karena salah beri informasi atau keterangan, umur bisa pendek sebab ada sumpah adat.
Terkait dengan status tanah di Waepana, kata pemerintah itu adalah tanah negara, sementara warga Seso klaim itu adalah tanah suku mereka. Menurut anda?
Saya kuatir ini ada kekaburan, dalam artian bahwa struktur dan riwayat dari suku itu sendiri kurang di pahami. Semua menyangkut alat bukti, jika bicara suku, suku nama apa? Suku nama ini, harus bisa dibuktikan, begitu juga kepala suku. Saya kuatir kita tidak tahu lagi, yang ada hanya cerita dari mulut ke mulut. Ada beberapa lagi yang menyangkut adat, saya lihat disana sudah mulai luntur dan kurang memahami mana yang lebih tua atau yang lebih muda. Contoh, di So’a ada aturan si A tidak boleh kawin dengan si B, tapi sudah mulai rapuh. Dan itu adalah persoalan masyarakat So’a sendiri. Menyangkut bidang pertanahan harus diingat bahwa nenek moyang di So’a orangnya suka berdamai dan suka berkompromi. Tapi kenapa sekarang tidak lagi.
Apa yang harus dibuktikan masyarakat Waepana agar status kepemilikan tanah mereka diakui negara?
Katakanlah mereka disana dulu tidak ada surat perjanjian jual beli, karena memang mereka tinggal di tempat itu untuk usaha turun temurun atau mereka menggunakan tanah negara yang dibuktikan dengan PBB, itu menjadi petunjuk. Jika mereka menguasai dengan itikad baik, itu hak yang dilindungi negara. Contoh sudah 20 tahun mereka menggarap tanah itu, tapi tiba-tiba ada orang datang dan mengaku itu milik mereka, milik nenek moyang mereka, itu kan lucu. Sekarang tidak bisa seperti itu, bukannya ingin menghilangkan tanah suku di So’a, tapi harus berdasar. Ada yang mengatakan bahwa masih ada tanah suku, saat ditanya ada dimana dan buktikan bahwa itu tanah suku mereka bingung, apalagi yang mengklaim anak baru kemarin. Sebenarnya masih ada orang tua yang tahu bahwa itu bukan tanah sukunya dia, tapi sengaja dibiarkan. Bahkan ada warga So’a yang arogan mengklaim diri sebagai ketua suku, tapi suku apa tidak jelas. Jadi, jika ada masalah, kita perlu duduk sama-sama, harus dibicarakan dari hati ke hati. Bicarakan dengan tokoh masyarakat, kepala suku, masyarakat hukum adat, supaya tahu benar riwayat tanah itu. Jangan sampai hanya dengar dari orang tua atau dari mulut ke mulut kita lantas anggap itu informasi yang paling benar. Di Republik ini ada aturan. Kita jangan bertindak sesuka hati seakan-akan negara ini berada dibawah kekuasaan kita. Sudah 50 tahun lebih Indonesia ini merdeka, tapi koq masih ada tindakan sepihak yang seperti itu, saya prihatin. Saya orang So’a yang berada diluar So’a sangat prihatin. Ini butuh keterlibatan Pemda Ngada untuk memberikan pengertian demi kesejukan seluruh masyarakat So’a. (*)

Ha'i Tamuku,,,

Terima Kasih atas kunjungan ANDA. Semoga apa yang ANDA baca DISINI,,,, dapat bermanfaat bagi ANDA. God Bless You,,,!