Irigasi Mbay Kiri Menabur Masalah

BR - Proyek pembukaan lahan irigasi Mbay Kiri seluas 3.000 hektar kini mulai bermasalah. Fungsionaris Masyarakat Adat Towak (F-MAT) dengan tegas menolak proyek senilai Rp 44 miliar lebih itu. Sebab, lahan yang akan dijadikan daerah irigasi Mbay Kiri merupakan hak ulayat mereka dan tidak untuk diperdagangkan atau dapat diambil oleh pihak lain dengan cara yang tidak santun. Protes warga adat ini telah disampaikan berkali-kali kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Nagekeo. Ironisnya, Pemkab yang kini dipimpin Drs. Yohanes S. Aoh dan Drs. Paulus Kadju itu tak mau ambil pusing. Buktinya, program Mbay Kiri jalan terus. Polisi dan tentara pun dijadikan tameng untuk memuluskan proyek.
Aksi penolakan F-MAT dimotori oleh, Anis Samparaja (Ketua F-MAT), Mikhael Naga (Sekretaris F-MAT) dan 14 Ketua Suku yang tergabung dalam FMAT, yakni Barnabas Marang (Suku Bhicu), Darius Jago (Suku Mbare), Antonius Djo (Suku Watu), Rovinus Rembo (Suku Ringo), Longginus Samu (Suku Gandung), Ferdinandus Toro (Suku Cila), Silvester Sile (Suku Dheru), Petrus Ngoba (Suku Kuku), Ferdinandus Saju (Suku Mbuang), Agus Rarang (Suku Mbaling), Bernadus Bhadho (Suku Dhangkang), Damianus Goa (Suku Tiwu Lengge), Yohanes Don Bosco Doko (Suku Lunge) dan Adrianus Nai (Suku Ngege).
F-MAT berikrar akan mempertahankan hak mereka hingga titik darah terakhir. “Karena hak kami diabaikan, maka dengan tegas kami menolak pembangunan irigasi Mbay Kiri sampai titik darah terakhir,” tegas Ketua Suku Watu, Antonius Djo saat ditemui belum lama ini di Kampung Nila, Kelurahan Mbay, Aesesa, Nagekeo.
Lalu apa tanggapan Pemkab Nagekeo? Wakil Bupati (Wabup) Nagekeo, Drs. Paulus Kadju mengaku program Mbay Kiri tetap jalan dan kini telah memasuki tahap pelaksanaan.
“Apapun rintangan yang ada, program Mbay Kiri tetap jalan. Kalau ada yang halang kami dari bawah, maka kami akan lompat dari atas,” ujar Kadju seraya tak menjelaskan makna kalimat politisnya itu.
Benar saja! Ternyata ucapan Wabup Kadju itu tidak main-main. Sebab, ketika tim identifikasi Pemkab Nagekeo turun ke lokasi irigasi Mbay Kiri, mereka dikawal oleh sejumlah orang berseragam polisi dan tentara. Tak pelak kehadiran aparat bersenjata itu dianggap sebagai bentuk profokasi terhadap warga F-MAT.
“Soal program itu, saya setuju. Tapi, ngapain bawa-bawa polisi dan tentara. Itu salah,” sergah Wakil Ketua DPRD Nagekeo, Thomas Tiba Owa.
Bagi Wabup Kadju, Pemkab Nagekeo tidak akan menyia-nyiakan dana Rp. 44.984.778.000 yang dialokasikan Pemerintah Pusat (Pempus) melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp. 23.329.000 dan LOAN JICA – 547 sebesar Rp. 21.655.778.000. Menurut rencana dana tersebut akan dipakai untuk rehabilitasi Bendung Mbay, Intake Kiri, Kantong Lumpur, Saluran Induk, Bangunan Penunjang, Saluran Sekunder, Saluran Tersier, Bangunan Sadap, Jaringan Tersier dan Saluran Darainase Utama.
“Kenapa mesti protes? Apa tidak rugi kalau uang sebanyak itu dikembalikan ke pusat? Tolong dimengertilah! Hasil dari program ini akan mengutamakan kepentingan orang asli (warga Aesesa-Red). Kita akan buat pernyataan hitam diatas putih. Pasti dibagi merata,” imbuh Kadju.
Lalu apa komentar Thomas Tiba? Pria yang akrab disapa Toti ini mengaku kesal dengan sikap Wabup Nagekeo yang terkesan lebih mementingkan uang ketimbang kepentingan rakyat. “Ini bukan soal uang, tapi soal kepentingan rakyat. Status tanah harus tahu betul dulu. Tanah itu milik pemerintah atau milik orang Towak? Kalau itu hak ulayat orang Towak, maka harus dibicarakan dulu baik-baik. Jangan kaget karena itu uang datang ke Nagekeo lalu hak rakyat diabaikan. Saya rasa rakyat setuju dengan program Mbay kiri, tapi pemerintah harus koreksi dulu soal status tanah itu. Jangan karena uang lalu kita sepelehkan hak rakyat. Saya paling tidak suka itu. Jangan seolah-olah mau mengambil hak orang lain secara paksa. Tolong dicek dulu status tanahnya. Jika masalah tanah sudah beres lalu sosialisasikan dulu program itu secara baik agar maksud dan tujuannya dipahami oleh rakyat. Selain soal tanah, juga tolong dicek selama ini siapa-siapa saja yang tinggal di lokasi itu. Terus solusinya bagaimana? Jangan maen seruduk aja,” pinta Thomas Tiba.
Soal status tanah, kata Wabup Kadju, tanah itu milik negara. Tanah tersebut telah diserahkan oleh warga Towak kepada pemerintah. “Itu tanah negara. Suku sudah serahkan ke negara,” paparnya.
Jika memang demikian, lanjut Thomas Tiba, kenapa masih ada protes dari masyarakat. Itu pasti ada yang tidak beres. Tolong dibuktikan dulu; tanah tersebut diserahkan tahun berapa dan oleh siapa? Bukti itu ditunjukan kepada warga Towak. Sehingga orang Towak tahu. Selanjutnya bagaimana? Yah... pemerintah harus sikapi secara bijaksana.
Toh begitu, menurut Wabup Kadju, program Mbay Kiri semata-mata hanya untuk kepentingan rakyat. Itu karena dari hari ke hari jumlah penduduk Nagekeo terus bertambah dan permintaan terhadap bahan makanan pokok (beras) terus meningkat.
Saat ini Irigasi Mbay hanya terdapat di Mbay Kanan dengan luas potensial 3.638 hektar dan luas fungsional 3.283 hektar yang telah beroperasi sejak tahun 1976. Jika lahan ini ditambah dengan luas Mbay Kiri, maka diharapkan Mbay, ibukota Kabupaten Nagekeo akan memiliki daerah irigasi sebesar 6.638 hektar.
“Dengan perluasan ini diharapkan lonjakan penduduk dan kebutuhan akan pangan bisa sejalan,” jelasnya.
Mantan Anggota DPRD NTT, Serilus Bau Engo sependapat dengan Wabup Kadju. Dia mengatakan lahan irigasi Mbay Kiri yang kini disangketakan oleh warga adat Towak itu telah diserahkan oleh ketua-ketua suku Towak sejak zaman swapraja ketika Nagekeo masih dibawah payung Kabupaten Ngada. Buktinya? Jika saat itu belum ada penyerahan tanah, maka bendungan Sutami Mbay tidak mungkin dibangun di Mbay. Sebab, lahan bendungan Sutami merupakan bagian dari lahan Irigasi Mbay Kanan dan Kiri.
“Saya berpendapat penyerahan dulu itu masih berlaku sampai sekarang. Setahu saya penyerahan tanah itu diperuntukan sesuai kebutuhan, termasuk untuk irigasi Mbay. Kalau mau protes, mestinya tanya ke Pemkab Ngada. Dari situ baru ke Pemkab Nagekeo. Saya yakin dokumen-dokumen penyerahan waktu itu masih ada. Coba teliti kembali proses penyerahannya dan batas-batas tanah yang diserahkan. Pasti ada. Nah, kalau dokumen-dokumen itu masih ada maka yang protes harus terima,” ujar Bau Engo.
Toh begitu, Bau Engo meminta Pemkab Nagekeo untuk bertindak arif dan bijak terkait sengketa Mbay Kiri. Kepada warga adat Towak, Serilus menyarankan protes boleh dilakukan tapi hanya untuk mendapatkan eksistensi pengakuan kepemilikan tanah. Jangan gugat penyerahannya. Sebab itu bisa membatalkan program Mbay Kiri.
“Ingat bahwa dana besar yang dikucurkan oleh pemerintah itu demi kepentingan orang Towak juga. Apa kita tidak rugi kalau dana itu dikembalikan ke kas negara?”.
Sikap Wabup Kadju dan Bau Engo ditanggapi sinis oleh Adi Lay. Tokoh kritis asal Danga - Mbay itu mengaku kecewa dengan sikap pemerintah yang sepihak menjalankan program Mbay Kiri. Seharusnya, kata Lay, sosialisasi menjadi tahapan penting dalam kegiatan ini. Sosialisasi tidak bisa dilakukan setengah-setengah atau hanya untuk kalangan terbatas saja.
“Sampai sekarang belum banyak masyarakat yang tahu tentang adanya proyek Mbay Kiri. Itu karena sosialisasi belum maksimal,” ujar Lay saat dihubungi per telepon pada Selasa (20/11/09).
Sebagai orang Mbay, Lay juga menolak Mbay Kiri. Alasannya? “Sejak dulu sudah banyak lahan yang kita berikan kepada pemerintah. Nah, sekarang pemerintah tolong lihat orang Mbay juga,” tegasnya, singkat.
Dikesempatan berbeda, Bupati Nagekeo, Drs. Yohanes S. Ao menegaskan proyek Mbay Kiri tetap dilaksanakan. Sebab, pengembangan areal irigasi Mbay Kiri pada prinsipnya untuk mengoptimalkan sumber daya air dan lahan yang tersedia. Soal lahan, kata Nani Ao ---begitulah Drs. Yohanes S. Ao biasa dipanggil---, dataran Mbay Kiri merupakan lahan tidur yang belum dikelola serta pemerintah berpegang teguh pada penyerahan lahan oleh masyarakat kepada pemerintah pada tahun 1975.
Pembangunan irigasi yang meliputi 6 desa/kelurahan di Kecamatan Aesesa yakni Desa Nggolombay, Waekokak, Nggolonio, Kelurahan Towak, Mbay I dan Mbay II, menurut Nani Ao telah didengungkan sejak tahun 1999.
“Bahwa ada gesekan atau benturan atau perbedaan pendapat di masyarakat itu sesuatu yang lumrah,” tandasnya.
Sementara itu Kepala Seksi (Kasi) Pelaksanaan Balai Wilayah Sungai Nusa Tenggara II, Aleks Loda, ST, MT mengatakan pengembangan irigasi Mbay Kanan maupun Kiri guna menopang defisit pangan yang terjadi di NTT saat ini. Setiap tahun NTT kekurangan beras sebanyak 150 ribu ton dari 500 ribu ton yang dibutuhkan. Diharapkan optimalsasi Mbay Kanan dan Mbay Kiri bisa menekan kekurang beras itu. (chris parera)

Ha'i Tamuku,,,

Terima Kasih atas kunjungan ANDA. Semoga apa yang ANDA baca DISINI,,,, dapat bermanfaat bagi ANDA. God Bless You,,,!